Opini

Investasi Masa Depan Demokrasi di Sulawesi Selatan Lewat Pilketos Serentak di SLTA Se-Sulawesi Selatan

Investasi Masa Depan Demokrasi di Sulawesi Selatan Lewat Pilketos Serentak di SLTA Se-Sulawesi Selatan (Abdul Asis, SS, Ketua Divisi Parhumas dan SDM KPU Kab. Bone, Sulsel)   KPU Provinsi Sulawesi Selatan tahun ini melakukan gebrakan yang luar biasa setelah sukses menggelar event Pemilihan Kepala Daerah Serentak di Sul-Sel, KPU kembali melakukan kegiatan pendidikan pemilih di masa non tahapan berupa pendampingan Pemilihan Ketua Osis serentak tingkat SLTA di Sul-Sel. Langkah pendampingan itu dilakukan setelah KPU Provinsi Sulawesi Selatan mengadakan MOU dengan Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Anggota KPU dari 24 Kab/Kota turun langsung melakukan pendampingan bersama Cabang Dinas wilayah masing-masing mulai dari penyusunan jadwal & tahapan pemilihan sampai selesainya perhelatan demokrasi tahunan di tingkatan SMA. Pemilihan Ketua OSIS (Pilketos) Tingkat SLTA tahun ini berbeda pada tahun-tahun sebelumnya untuk kali pertama Pemilihan Ketua OSIS dilaksanakan secara serentak yakni pada tanggal 29 September 2025. Pemilihan Ketua OSIS bukan sekedar kegiatan rutin melainkan juga merupakan sebuah wahana atau proses pembelajaran sejak dini tentang demokrasi yang harus dilaksanakan dengan penuh integritas dan tanggungjawab sekaligus juga diharapkan mampu membentuk generasi yang cerdas baik sebagai calon maupun sebagai pemilih pada perhelatan demokrasi yang lebih luas misalnya pada pemilu maupun pilkada di masa yang akan datang. Melalui program pendampingan ini, KPU berharap ini bisa menjadi laboratorium demokrasi bagi siswa-siswi dimana mereka mulai belajar dan diperkenalkan dengan tata cara dan tahapan pemilihan yg ideal dan sekaligus memberikan edukasi sejak dini kepada siswa-siswa tentang praktek-praktek penyimpangan dalam pesta demokasi yang marak terjadi seperti golput, politik uang, penyebaran hoax maupun intervensi-intervensi yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu demi mencapai tujuan atau hasrat politiknya. Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua OSIS adalah sebuah pengalaman pendidikan yang sangat berharga, pemilihan dilakukan secara langsung oleh seluruh siswa melalui sistem pemungutan suara berbasis e-voting yang menjamin setiap suara siswa akan dihitung secara adil dan transparan serta dapat dipertanggungjawabkan. Melalui proses pemilihan ini juga siswa akan belajar tentang nilai-nilai dan prinsip demokrasi, seperti hak suara, kebebasan memilih, serta tanggung jawab dalam memilih pemimpin yang tepat. Proses ini juga mengajarkan siswa tentang pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan berorganisasi dan pengambilan keputusan. Kegiatan pendampingan ini adalah sebagai salah satu bentuk investasi jangka panjang yang sedang dibangun oleh KPU sebagai salah satu lembaga yang diharapkan menjaga marwah demokrasi di Indonesia, melihat kondisi kalau hari ini siswa-siswa yang duduk mulai dari bangku kelas 10 smpai 12 ini kelak akan menjadi pemilih pemula pada perhelatan Pemilu 2029 yang akan datang sehingga pengalaman dalam perhelatan Pemilihan Ketua OSIS (PILKETOS) ini baik sebagai panitia penyelenggara maupun sebagai pemilih akan semakin membuat mereka menjadi bijak dalam mengambil keputusan untuk berpartisipasi aktif dalam setiap pesta demokrasi di masa mendatang. James clear (atomic habits) menyatakan bahwa setiap kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten akan melahirkan dampak perubahan yang besar dalam hidup seseorang, dan setiap perubahan besar itu tidak harus dimulai dengan langkah besar melainkan kebiasaan kecil yang terus menerus diperbaiki. Pendampingan pilketos tahun ini yang dilakukan oleh KPU Provinsi bersama-sama KPU Kab/Kota juga bisa jadi sebuah langkah kecil yang diharapkan dapat berdampak besar dalam proses menjadikan demokrasi di Indonesia dan terkhusus Sul-Sel bisa tumbuh dan semakin berkualitas dengan lahirnya pemimpin-pemimpin terbaik dan berintegritas di masa akan datang. Ada empat kaidah utama (james clear:atomic habits) yang diperlukan untuk membentuk kebiasaan yang baik itu yakni membuatnya jelas, membuatnya menarik, membuatnya mudah dan membuatnya memuaskan, dan itulah yang coba dimplementasikan oleh KPU bersama Dinas Pendidikan Sulsel dalam Pilketos serentak ini dengan menggunakan contoh nyata penyelenggaraan pesta demokrasi di sekolah menjadi sebuah kebiasaan yang baik, dimana semua siswa diminta untuk taat azas dan aturan penyelenggaraan yang sudah ditetapkan bersama sembari menikmati dan menjalani semua prosesnya dengan penuh kejujuran dan integritas sampai akhir tahapan. Investasi dalam dunia demokrasi berupa pendidikan pemilih terhadap calon pemilih pemula ini tentu amat berharga untuk memastikan keberlangsungan demokrasi yang sehat sekaligus mempertahankan kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia. Berdasarkan Riset miller dan Shank di Amerika menunjukkan bahwa pemilih pemula yang memiliki alasan menggunakan hak pilihnya untuk pertama kali memiliki kecenderungan untuk tetap menggunakan hak pilihnya pada pemilu berikutnya, untuk itu tentu segala upaya mesti dilakukan untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi kepada para pelajar agar di masa yang akan datang tanggung jawab dan integritas pemilih itu semakin kuat sehingga mampu "memaksakan" pemilu itu tetap berkualitas di tengah gempuran praktek-praktek penyimpangan oleh mereka yang selalu menjadikan politik instan dalam mencapai tujuan politiknya dengan mengabaikan nilai-nilai moral dan etika berdemokrasi. Untuk itu tentu menjadi harapan bersama pemilihan ketua OSIS yang akan diselenggarakan pada Senin, 29 September 2025 ini akan terpilih pemimpin yang memiliki kemampuan kepemimpinan serta mampu menginspirasi dan memotivasi siswa untuk lebih berpartisipasi aktif dalam setiap perhelatan demokrasi di masa yang akan datang. Semoga program ini akan terus berlanjut dan senantiasa akan dilakukan evaluasi secara terus menerus demi mewujudkan kehidupan demokrasi yang sehat dan berkualitas melalui proses penanaman dan pengenalan nilai-nilai demokrasi sejak dini bahwasanya pendidikan pemilih itu tidak hanya menyasar kepada pemilih namun juga harus lebih awal ditanamkan kepada calon pemilih yang kelak nanti akan menjadi pemilih ketika sudah memasuki usia yang dipersyaratkan sebagai pemilih.

Menjaga Kedaulatan Pemilih, Merawat Kualitas Demokrasi

Menjaga Kedaulatan Pemilih,  Merawat Kualitas Demokrasi Oleh Nuryadi Kadir (Kadiv. Perencanaan, Data dan Informasi KPU Kab. Bone, Akademisi dan Peneliti La Tea Riduni Institute)     Pemilu dan Pemilukada tahun 2024 telah dilalui dengan sukacita. Jika diperhatikan, ada kebutuhan mendesak untuk menata demokrasi prosedural yang lebih substansif. Pemilu dalam dua dekade ini menjadi atensi publik, meskipun memberikan respon yang relatif beragam. Tetapi, tetap patut diapresiasi, karena beberapa bagian penataan penyelenggaraan pemilu sudah mendapatkan respon yang positif. Secara umum misalnya, terdapat transformasi pada tataran kelembagaan yang lebih mandiri, profesional dan akuntabel, sedangkan secara spesifik, terdapat inovasi penyelenggaraan teknis pemilu yang mengadaptasikan digitalisasi informasi dalam dukungan manajemen dari hulu hilir demi mengefektifkan penyelenggaraan dan pengawasan pemilu. Mungkin sebagian besar publik belum menyadari bahwa pasca reformasi, tata kelola pemilu mengalami dinamika politik yang cukup konstruktif. Utak atik regulasi penyelenggaraan pemilu berlangsung dialektis, meski tetap dipandang sebagai pembenahan sistem yang lebih baik. Tanpa berusaha untuk tidak menepis bahwa masih terdapat upaya untuk mendegradasi semangat pemilu yang langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun demikian, kesan yang terlihat, regulasi pemilu selama ini masih terlampau prosedural, belum nampak geliat aktif pemilih secara substansial. Selama ini pula, diskursus regulasi pemilu hanya melewati bagian dari fenomena politik kekuasaan, yakni, berbicara soal aturan arena peserta pemilu seperti bagaimana landskap kepartaian, membahas sistem multipartai sampai pada penyederhanaan sistem kepartaian. Selanjutnya, berbicara pembagian kursi kekuasaan dan persentasenya, seperti bagaimana problematika Parliamentary Threshold (PT) selama ini, termasuk upaya efektivitas agenda demokrasi dalam keserantakan Pemilu dan Pemilukada yang separuhnya, dipandang sebagai kepentingan dan kewenangan berkuasa. Tanpa ada kesempatan yang sama untuk mendorong bagaimana idealnya kedaulatan pemilih dalam ruang kontestasi demokrasi, meskipun disadari betul bahwa angka partisipasi nasional berada dikisaran 82% pada Pemilu tahun 2024. Menyoroti pemilu dengan segala dinamika yang terjadi selama ini, pada posisinya, situasi yang diharapkan sekarang ini ialah bagaimana supremasi terhadap pemilih yang notabene pemegang kuasa kedaulatan pemilu. Bagaimana menempatkan pemilih sebagai inti dari segala dimensi kepemiluan dan  mendudukkan pemilih sebagai salah kutub utama dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Perannya tidak hanya pada prasyarat pelengkap adminitrasi dan dipahami sebatas pemberi suara pada konteks elektoral, tetapi penting dalam menjamin kebebasan dan kedaulatan pemilu. Kontruksi pemilih memang diawali dari proses normatif yaitu seseorang mendapatkan hak pilih atau menjadi eligible voter apabila yang bersangkutan telah berusia 17 tahun dan atau sudah/pernah menikah yang tertuang dalam aturan UU No 7 Tentang Pemilu Tahun 2017 Pasal 198 ayat (1) berbunyi “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”. Tidak hanya berhenti pada syarat dasar pemilih, secara praktis didaftarkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), sedangkan bagi yang tidak terdaftar pada DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan ketentuan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Tempat Pemungutan Suara (TPS), selebihnya menunggu hari pemungutan suara. Pada konteks ini, mekanisme penggunaan hak pilih tidak boleh berhenti pada bilik suara, tidak hanya diletakkan pada soal terdaftar sebagai pemilih dan hadir pada pemungutan suara, tetapi memiliki kewajiban dan hak mutlak setiap tahapan pemilu.  Kedaulatan pemilih harus dimaknai sebagai instrumen dalam mewujudkan kehendak rakyat secara umum. Dapat diartikan dengan memberikan seluas-luasnya akses terhadap segala proses. Maka sudah sepatutnya, pemilih memiliki kebebasan tak terbatas dalam mengakses mekanisme dan tahapan penyelenggaraan pemilu. Momentum pemilu baik pre-election, election dan post-election seharusnya akrab dengan aktivitas warga negara. Terlibat aktif dalam diskursus publik atau pergulatan wacana antar pemilih, peserta dan penyelenggara pemilu setiap tahapan. Wacana kepublikan, kebangsaan atau problem dasar keummatan menjadi menu utama atau tema pokok pada setiap percakapan politik. Pemilu sebagai sarana kedaulatan pemilih, menjadi arena inklusif yang memungkinkan terciptanya ide dan pertautan gagasan yang konstruktif, dengan mengandaikan adanya partisipasi pemilih dan peserta yang setara, bahwa setiap warga negara menyadari betul dirinya sebagai aktor atau agen yang dapat menentukan kualitas sistem demokrasi. Tanpa menutup mata, bahwa sesungguhya masih terdapat residu pada ranah pemilih yang selama ini masih luput dari pantauan dan berpotensi mengancam masa depan demokrasi, diantaranya, pertama, capaian pemilu selama ini belum cukup mengaktifkan publik secara menyeluruh dalam setiap episode tahapan pemilu, kedua sulitnya menerapkan prinsip dasar nilai demokrasi secara total dalam pemilu yakni pengakuan terhadap hak sipil, kedaulatan dan kebebasan politik, ketiga semakin rendahnya animo publik menyikapi diskursus politik dan dialektika civil society dan kebangsaan, justru terjebak pusaran elektoralisme dan selebihnya menjadi kelompok “silent majority” selanjutnya keempat narasi polarisasi politik (kubu-kubuan), praktek politik klientilisme dan populisme yang masih mendominasi, tanpa menafikkan gejala lainnya seperti politik identitas dan money politic, selanjutnya, kelima disrupsi teknologi informasi menyumbang ruang gema “echo chamber” dan menciptakan bias kognitif atau bias konfirmasi pada keputusan dan pilihan politik. Kondisi demikian memang menjadi tantangan tersendiri bagi iklim demokrasi sekarang ini, dimana era keterbukaan dan arus informasi yang mendeterminasi segala kehidupan demokrasi. Keterbukaan informasi yang diharapkan memacu kesadaran moral, mendorong partisipasi dan meningkatkan daya literasi publik. Namun semakin melubernya informasi ke berbagai ranah, justru memicu “echo chamber” (ruang gema). Mulanya, internet sebagai medium informasi dan sumber literasi yang mengedukasi, bahkan sebaliknya menjadi medium penyesatan informasi, perang narasi dan penyebaran hoaks. Dalam konteks pemilu misalnya, fenomena politik di platform media sosial yang kebanyakan menyuguhkan perkara kepribadian kandidat tanpa dibarengi visi dan misi, sikap dan formasi koalisi, aksi dan reaksi pendukung kandidat serta kampanye dengan narasi kalah menang, adu siasat janji dan pencitraan politik tanpa tuntutan secara moral yang kesemuanya tidak memberikan efek edukasi dalam pemilu. Selanjutnya, maraknya reproduksi isu dan wacana politik oleh kelompok tertentu hanya untuk tujuan politik tertentu sehingga mudah dipelintir dan diframing dalam memainkan sentimen pemilih. Kondisi ini makin diperparah dengan pemaknaan sebagian orang terhadap era digitalisasi informasi yang dimana ketakjuban orang bukan lagi soal esensi tapi eksistensi, pengkultusan kandidat lebih mengagungkan pesona yang bersifat artifisial ketimbang sesuatu yang lebih natural. Pendek kata, lebih mengedepankan sensasi daripada subtansi. Era disrupsi informasi juga ikut menstimulus praktek kecurangan pemilu (electoral fraud) melalui serangan cyber yang berusaha memanipulasi dan meretas perangkat lunak penyelenggaraan pemilu, bahkan ada upaya mempengaruhi hasil pemilu. Fenomena post truth turut mengharubirukan jagat media sosial. Suguhan disinformasi pada waktu penyelenggaraan pemilu seperti diksi “kebocoran data” diproduksi dan diamplifikasi ke khalayak menjadi senjata mengobok-obok tahapan dan proses pemilu. Produk sains seperti kecerdasan buatan (artificial intelligent : AI) yang notabene membantu kerja manusia, sebaliknya mengancam proses pemilu dimana peran algoritma politik yang mensimulasikan persepsi seseorang untuk menghasilkan sikap politik. Disrupsi ini cukup memberikan ancaman terhadap kedaulatan pemilih dan masa depan demokrasi. Pada simpulannya, pemilu ke depan harus dibarengi semangat literasi yang mumpuni. Konsisten memahami secara mendalam dan komprehensif arti pentingnya pemilu sebagai sarana kedaulatan pemilih, yakni, pertama bagaimana kemampuan seseorang secara sadar memahami hak politiknya secara fundamental, kedua  kemampuan seseorang dalam mengembangkan nilai-nilai demokrasi ke berbagai ranah, ketiga kemampuan untuk terlibat dalam setiap diskursus publik dan keempat kemampuan dalam menganalisa dan mengambil keputusan pada pilihan politik sesuai dengan konteksnya. Pendekatan demokrasi deliberatif dalam mendorong wacana kepublikan dan kebangsaan dalam setiap momentum, membuka ruang-ruang musyawarah dengan melibatkan seluruh warga. Refresentasi sebagai kunci demokrasi benar-benar terakomodir dalam ruang kebijakan dan keputusan politik. Pada akhirnya, penyelenggaraan pemilu harus seutuhnya menjadi pesta demokrasi semua lapisan sebagai kedaulatan pemilih dan merawat demokrasi harus didukung dengan pencerahan literasi yang berdampak pada keputusan dan pilihan politik lebih substansial. Sekian   Ket : Pernah dipublikasikan di https://bone.bawaslu.go.id/publikasi/sudut-literasi/demokrasi-pasca-pemilu

Tantangan Kerja-Kerja Sosialisasi Pendidikan Pemilih Dalam Penyelenggaraan Pemilu Dan Pemilukada

TANTANGAN KERJA-KERJA SOSIALISASI PENDIDIKAN PEMILIH DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU DAN PEMILUKADA (Abdul Asis, SS, Kadiv Parhumas dan SDM KPU Kab. Bone, Sulsel) Baik atau buruknya praktik demokrasi di sebuah negara tidak terlepas dari Kapasitas dan kredibilitas penyelenggara pemilu.Institusi penyelenggara pemilu yang tidak berkualitas, tidak mandiri, transparan dan tidak berintegritas hanya akan buat hasil Pemilihan Umum dipertanyakan. Jika dipahami melalui logika kausalitas dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan Pemilu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil, syarat utamanya ialah penyelenggara Pemilu harus berpegang pada nilai utamanya ialah penyelenggara harus berpegang pada tiga nilai utama yakni kemandirian, profesionalitas dan integritas, namun tentu hal tersebut tidak semudah yang dibayangkan karena penyelenggara pemilu akan dihadapkan dengan tantangan yang datang silih berganti sesuai dengan perkembangan situasi, sosial, ekonomi, budaya dan politik di aras lokal, nasional maupun international. Tantangan besar KPU dalam mewujudkan Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil adalah adanya relasi kuasa yang tak seimbang menyebabkan terciptanya “Lapangan bermain yang setara” bagi seluruh masyarakat, ada komponen-komponen tertentu dari masyarakat yang punya keunggulan lebih dan ada yang kurang diuntungkan dari sisi akses informasi atau bahkan dari struktur sosial politik maupun kulturan. Pengetahuan yang cukup serta akses yang memadai untuk menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan bertanggungjawab ini yang penting untuk memastikan pemilih menjadi subyek yang diperebutkan suaranya oleh kontestan Pemilu.              Salah satu indikator penting dari keberhasilan Pemilu yang terukur ialah tingkat partisipasi pemilih. The Economist intelligence unit’s index of democracy menetapkan jumlah pemilih yang menggunakan hak suaranya konsisten 70 persen dalam pemilihan tingkat nasional sebagai salah satu patokan partisipasi politik yang ideal (Kekic, 2007), di Indonesia angka minimal partisipasi politik itu masih masuk dalam batas aman. Namun tentu hal tersebut tidak cukup untuk kita berpuas diri karena angka partisipasi pemilih pada perhelatan Pemilu 1999, Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu legislatif 2009 terjadi penurunan angka partispasi dan bisa menjadi peringatan bagi penyelenggara Pemilu. Sebagaimana kita ketahui bersama Partisipasi Pemilih itu merupakan salah satu indikator bagi keberhasilan Pemilu. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka legitimasi Pemilu akan semakin baik. Partisipasi merupakan respon atas pengakuan masyarakat, baik terhadap penyelenggara Pemilu, maupun kontestan. Kepercayaan yang buruk terhadap kedua lembaga tersebut dapat mengakibatkan buruknya partisipasi masyarakat. Pada Pemilihan Umum Tahun 2024 kemarin bagi kami di KPU Kabupaten Bone angka partisipasi itu menjadi momok yang menakutkan, karena Kabupaten Bone tercatat juga sebagai terbesar kedua di Sulawesi Selatan jumlah pemilihya. Data Jumlah Pemilih di Kabupaten Bone adalah 587.777 pemilih, terdiri dari 281.448 laki-laki dan 306.329 perempuan. Berdasarkan hasil Pemilu kemarin jumlah pemilih yang memberikan hak pilihnya sebesar 467.989 (Laki-laki 215.882 dan Perempuan 252.107). Pada penyelenggaraan Pemilu 2024 kemarin, berbagai upaya serta inovasi dilakukan untuk membangun kesadaran  partisipasi masyarakat serta menjadikan Pemilihan Umum yang inklusif, beberapa diantaranya adalah Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan (DP3), Kirab Pemilu, KPU Goes to School, campus, pesantren, Pemutaran Film yang di produksi oleh KPU RI ”Kejarlah Janji” (Pemilu) dan “Tepatilah Janji” (Pilkada) secara serentak di seluruh Kampus dan Pesantren yang telah ditentukan, pendidikan pemilih berbasis segmen misalnya segmen pemilih Perempuan, Marginal, penyandang  disabilitas, Pemilih Pemula, Pemuka Agama yang berada di 27 Kecamatan dan 372 Desa/Kelurahan Se-Kabupaten Bone dan Pembuatan alat peraga pendidikan. Kerja-kerja itu tentu tidaklah mudah mengingat di Kabupaten Bone sendiri masih ada beberapa wilayah yang masuk kategori sangat sulit dijangkau karena kondisi akses infrastruktur jalan yang tidak memadai serta akses jaringan informasi di beberapa wilayah yang blankspot, kondisi tersebut selain menyulitkan kami sebagai penyelenggara dalam melaksanakan kerja-kerja teknis juga menyulitkan masyarakat tersebut untuk berpartisipasi dalam menyalurkan hak suaranya di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Penerapan Pendidikan Pemilih berbasis segmen ini diterapkan dengan harapan mampu meningkatkan kualitas setiap tahapan proses pemilu, meningkakan partisipasi pemilih, meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi serta diharapkan mampu membangkitkan kesukarelawanan masyarakat sipil dalam agenda Pemilu dan demokratisasi. Namun tentu harapan besar itu tidaklah mudah untuk dicapai karena dalam penerapan pendidikan pemilih itu punya tantangan yang berbeda-beda dan membutuhkan pendekatan secara spesifik pula sesuai dengan karakter masing-masing serta kondisi geografis dan infrastrukur jalan yang belum memadai menambah beban berat dalam pelaksanaan kegiatan tersebut. Pasca berakhirnya Pemilu dan Pemilukada, respon dan beberapa pertanyaan bahkan ragam pernyataan muncul di publik yakni Apa yang dikerjakan KPU setelah pemilu dan Pilkada ini telah selesai?? Hal itu wajar saja utamanya bagi sebagian khalayak yang hanya menilai kerja-kerja penyelenggara hanya pada kerja-kerja teknis elektoral. Sebagai penyelenggara kami sadar bahwa pertanyaan-pertanyaan itu menuntut jawaban yang tidak hanya bersifat internal tetapi juga perlu disampaikan secara terbuka kepada publik agar mereka memahami bahwa KPU pasca tahapan selesai tetap menjalankan peran strategis dalam menjaga kualitas demokrasi bahkan diluar periode Pemilu. KPU tetap memegang tanggung jawab substansial dalam menjaga integritas data kepemiluan yang biasa saya sebut dengan “memurnikan data pemilih” dan mencerdaskan pemilih itu sendiri diluar dari kerja-kerja menjalankan fungsi teknis sebagai penyelenggara. Setelah pemilu dan pemilu kada ini berakhir ada beberapa tugas penting yang harus dilaksanakan yakni Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PPDB) sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang. Kegiatan itu bertujuan untuk menyajikan data pemilih yang komperehensif, akurat dan mutakhir sebagai landasan penyusunan data pemilih pada Pemilu berikutnya. Sebagaimana diketahui bersama bahwa data pemilih itu bersifat dinamis, senantiasa selalu terjadi perubahan akibat dinamika kependudukan seperti kelahiran, kematian dan perpindahan domisili untuk mendukung kegiatan tersebut tentu disini keterlibatan atau peran aktif partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan. Salah satu faktor dari kondisi tidak akuratnya data pemilih yang sering dialami adalah rendahnya partisipasi masyarkat dalam melaporkan informasi kependudukannya. Hal tersebut itupula yang kemudian menjadi tantangan sekaligus salah satu kendala dalam upaya peningkatan partisipasi pemilih, karena salah satu faktor yang mempengaruh partisipasi pemilih adalah data pemilih, semakin “bersih” data pemilih itu sendiri maka akan semakin memudahkan dalam mendongkrak angka partisipasi itu sendiri. Selain menjaga integritas data kepemiluan, tugas utama KPU yang lain pasca berakhirnya tahapan ini adalah kegiatan sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk meningkatkan partisipasi masyarakat serta mewujudkan Pemilu dan Pemilihan demokrasi yang substansial dan berintegritas dan dilaksanakan secara berkesinambungan. Tugas dan kewajiban pendidikan pemilih berkelanjutan tentu saja tidak hanya menjadi tugas KPU semata tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama baik penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP), stakeholder, partai politik, masyarakat maupun pihak-pihak terkait. Dengan adanya sinergitas dan soliditas kelembagaan yang terbangun bersama semua elemen masyarakat tentu harapan sebagaiamana disampaikan di atas itu bisa tercapai sehingga Pemilu kedepan menghasilkan pemimpin-pemimpin negeri yang berkualitas, yang membawa aspirasi rakyat untuk kemajuan dan kesejahteraan segenap warga negara. Beberapa strategi pendidikan pemilih pasca berakhirnya tahapan ini dirumuskan dan dilaksanakan dengan tujuan agar bisa menjangkau semua basis/segmen dan menjangkau ke wilayah-wilayah terpencil atau pelosok di Kabupaten Bone antara lain melalui media mainstream baik melalui media cetak berupa koran, media elektronik diantaranya melalui radio, berita online berupa website, berita online maupun medsos yang meliputi Facebook, Instagram, Twitter, Youtube, Tiktok yang dimiliki oleh KPU Kabupaten Bone selain itu juga dilakukan kegiatan secara tatap muka/luring misalnya melalui forum warga, diskusi/Focus Group Discusion (FGD) serta bentuk–bentuk lain yang disesuaikan dengan kearifan lokal yang membuat tujuan dari pendidikan pemilih tercapai. Pendidikan pemilih akan memperkuat demokrasi dan menciptakan pemilu yang berkualitas untuk itu dibutuhkan kerja-kerja sistematis untuk melakukan pendidikan pemilih. Keterpaduan pelaksanaan prinsip-prinsip, sasaran dan strategi pendidikan pemilih menjadi faktor penting selain itu juga dibutuhkan soliditas dan kesungguhan serta komitmen menjadi penentu akhir keberhasilan program pendidikan pemilih. Selain itu yang tidak kalah penting adalah dalam upaya mencerdaskan pemilih tersebut. KPU Kabupaten Bone sendiri secara kelembagaan dan personal tetap senantiasa juga berupaya untuk memupuk dan meningkatkan kepercayaan publik dengan menjaga kemandirian KPU dan meningkatkan profesionalisme penyelenggara Pemilu serta menerapkan prinsip keterbukaan dan partisipatif dalam penyelenggaraan Pemilu. Kepercayaan Publik menjadi perhatian yang sangat serius karena kepercayaan publik terhadap penyelenggara khususnya KPU Kabupaten Bone menjadi prasyarat terselenggaranya sebuah Pemilu atau Pemilihan yang demokratis, berintegritas dan diterima oleh semua pihak. Untuk itu segala kecurigaan terhadap kinerja KPU itu harus dikikis habis dan dibuktikan dengan kerja yang lebih baik dan profesional. Akhir kata tiada gading yang tak retak, tiada yang sempurna di dunia ini, meskipun kami telah berupaya maksimal dalam upaya kerja-kerja sosialisasi dan pendidikan pemilih tidak dimungkiri bahwa masih banyak terdapat kekurangan disana-sini. Akan tetapi seluruh yang kami lakukan setidaknya bisa memberikan sedikit kontribusi nyata dalam kerja teknis elektroral sebagai upaya mencapai demokrasi yang substansial dan berintegritas.   Ket : Tulisan ini pernah terbit, 19 Juli 2025 Kolom tribunboneonline.com Opini

Meneguhkan Demokrasi Substansial Pada Pusaran Elektoralisme

“Meneguhkan Demokrasi Substansial Pada Pusaran Elektoralisme” Oleh Nuryadi Kadir Kadiv. Perencanaan Data dan Informasi KPU Kab.Bone  Akademisi dan Peneliti La Tea Riduni Institute     Pesta demokrasi sayup-sayup terdengar di ruang publik, seakan-akan hajatan politik tidak lama lagi diselenggarakan. Beberapa tahapan skenario pemilihan umum pun telah dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Kita akan kembali dipertontonkan rutinitas perhelatan politik lima tahun sekali yang acapkali menyisakan masalah. Tentu mengurai masalahnya satu persatu tidak akan tuntas. Akan tetapi dalam konteks ini sedikit merefleksi dinamika politik sebagai jalan yang panjang untuk mencapai demokratisasi. Tidak berlebihan mungkin menyebut demokratisasi, karena selama ini masih mengalami transisi demokrasi. Konteks kekinian misalnya yang cukup penting untuk dijadikan sebuah refleksi adalah betapa demokrasi elektoral dengan gejala kontestasi, manuver tim sukses, drama dan intrik politik serta mahalnya pembiayaan politik mengalahkan substansi berdemokrasi. Serasa alam demokrasi kita disempitkan oleh agenda politik yang instrumental dan bersifat elitis, seolah-olah tujuan dari segalanya adalah kekuasaan semata. Penting menghadirkan demokrasi substansial di tengah demokrasi prosedural. Demokrasi substansial yakni menjalankan prinsip nilai demokrasi sepenuhnya, seperti pengakuan terhadap hak sipil, jaminan kedaulatan rakyat, kebebasan individu, berkeadilan dan mengusahakan kesejahteraan sebagai pelaksanaan demokrasi. Maka dari itu, sistem demokrasi di Indonesia harus benar-benar menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan secara penuh, sehingga pelibatannya dalam diskursus politik menjadi faktor determinan pada setiap hajatan demokrasi seperti Pemilu dan Pilkada.  Meneropong demokratisasi di tingkat lokal yang cenderung disuguhi segala macam praktik depolitisasi di ruang publik, menimbulkan perilaku apatis masyarakat terhadap iklim perpolitikan saat ini. Kemandekan berdemokrasi memicu terciptanya silent majority atau masyarakat semakin jenuh dengan praktik politik. Pengetatan wacana demokratisasi dari kepentingan politik kebangsaan diarahkan ke politik praktis. Demikian pula halnya, jebakan elektoralisme yang prosedural di bawah bayang-bayang rezim politik berkuasa. Sesungguhnya, menyikapi persoalan tersebut harus ada sikap yang tegas untuk mengembalikan nilai-nilai demokrasi, dengan mengedepankan politik emansipatif. Bahwa seluruh warga masyarakat sadar memperjuangkan kepentingan publik dalam arena politik.   Mengaktifkan Wacana Kepublikan di Arena Politik Seyogyanya ruang publik harus menjadi ruang bagi semua kalangan, menjadi zona yang nyaman bagi setiap orang untuk bertemu dan mengutarakan kegelisahan sekaitan fenomena kepublikan dari berbagai sudut pandang. Menghadapi hajatan politik seperti ini, ruang publik diharapkan steril dari percakapan yang bersifat destruktif, sehingga warga memiliki kebebasan mengorganisir opini dan mampu melawan hegemoni wacana dominan yang direproduksi oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politik secara instan. Percakapan politik itu seharusnya akrab dengan wacana kepublikan agar menjadi representasi dan medium komunikasi politik. Ruang publik sebagai arena inklusif memungkinkan terciptanya ekspresi dan ekspektasi publik terhadap situasi terkini dan masa akan datang. Hadirnya partisipasi yang egaliter, tatkala setiap warga negara menyadari betul dirinya sebagai aktor yang menentukan proses politik ke depan. Bukan menjadi bagian dari skenario kekuasaan politik atau dijadikan sebagai komoditas politik. Sederhananya, diskursus antar warga diawali dengan membicarakan hal yang menyentuh langsung dengan dirinya atau merumuskan persoalan yang paling elementer sekaitan dengan pemenuhan hak dasar, jaminan layanan publik, kebebasan dan perlindungan sosial, pembangunan daerah, sampai pada problematika yang dihadapi secara riil dan aktual di setiap daerah, tak terkecuali merefleksikan situasi politik, Pada dimensi politik, masyarakat memiliki kekuatan narasi dalam mewarnai referensi dan preferensi politik dalam rangka memajukan daerah, memiliki kebebasan mengajukan semacam reasoning dalam pembangunan daerah. Menguji sekaligus membaca keberpihakan aktor politik (kandidat) terhadap transformasi kemajuan daerah, termasuk menakar visi dan misi serta janji politik setiap kandidat nantinya. Tidak hanya terbawa oleh arus politik yang berkenaan dengan elektoralisme, diantaranya menjadikan kontestasi politik sebagai ajang tarung menjagokan kandidat, terhanyut pada drama politik yang penuh intrik dan akhirnya larut dalam pilihan antara menang dan kalah. Kesadaran publik dan pembicaraan politik mesti dikembalikan pada ranah publik. Harus ada pemodelan dalam menata diskursus politik di ruang publik, sehingga kemasan politik tidak terkesan esklusif yang hanya diperbincang oleh sekelompok kekuasaan tertentu dan selebihnya memobilisasi kapital dan massa. Mengimbangi Jebakan Elektoralisme Framing elektoralisme menggejala dan menjangkiti cara berpikir setiap orang. Sebagian berpandangan bahwa demokrasi hanya berurusan dengan pemilihan umum. Ibaratnya, jalan satu-satunya pelaksanaan demokrasi yang ada adalah demokrasi elektoral. Padahal elektoralisme kerap dimaknai secara minimalis sebagai sarana alat kontestasi, berbicara pertarungan antara menang dan kalah. Hasilnya sangat berdampak pada wajah demokrasi keseharian kita yang menimbulkan kekecewaan yang luar biasa, dimana suatu perencanaan, penyusunan dan pengambilan keputusan kebijakan tidak berlangsung demokratis. Kontribusi dan partisipasi warga hanya dipandang sebelah mata di alam demokrasi ini.  Narasi politik yang minim gagasan hanya menjadikan pertunjukan politik miskin substansi, justru menimbulkan kegaduhan di mana-mana. Diskursus politik pun terdistorsi oleh dominasi urusan elektoral yang identik menang-kalah, dengan segala fenomenanya seperti politik uang, banalitas politik dan politik bipolar, yang menyandera praktik demokrasi elektoral selama ini. Soliditas dan kohesi sosial semakin renggang. Tatanan nilai kerakyatan terdegradasi akibat pengaruh mental politik transaksional. Dilain sisi, perancang pemenangan kandidat yang biasa disebut tim sukses atau pendukung kandidat banyak berperan dalam melakukan manuver politik di setiap kontestasi pemilihan. Berbagai cara, daya dan upaya politis untuk memenangkan kandidatnya, meskipun dibaliknya terkadang harus mengambil resiko dengan memainkan intrik-intrik kecurangan. Tidak sedikit dari mereka memainkan isu politik identitas dan populisme yang sesat dan tidak segan-segan pula melakukan kampanye hitam. Termasuk menebar berita hoaks, klaim kebenaran dan pemelintiran fakta yang menurunkan kualitas demokrasi. Sejatinya, pertarungan politik harus diisi dengan pertarungan gagasan yang dialektis yang didasarkan pada kepentingan publik untuk kemajuan daerah. Sudah harus ada masa di mana politik gagasan sebagai pilar utama dalam kontestasi.  Perlunya Literasi Politik Literasi politik untuk masyarakat merupakan keniscayaan, menjadi tanggung jawab setiap warga negara dalam memahami politik. Model literasi politik tidak hanya sekedar paham akan persoalan tahapan dan mekanisme pemilihan saja. Namun di satu sisi masyarakat harus betul-betul menyadari dampak apa yang akan diperoleh saat menjatuhkan pilihan, di sisi lain masyarakat secara berdaulat untuk dapat mengajukan dan menentukan preferensi politiknya. Pada tataran ideal, memahami secara komprehensif dinamika politik secara faktual. Landskap penyelenggaraan Pemilu 2024 masih dalam mekanisme peraturan perundang-undangan yang sama dengan Pemilu 2019 (rujukan UU No.7 Tahun 2017), sehingga potensi kecurangan sangat memungkinkan berulang. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh hanya memahami setiap prosesi penyelenggaraan, tetapi mengenal dan mampu mengidentifikasi potensi kecurangan yang terjadi. Tidak cukup disitu saja, literasi politik harus menjadi pedoman nilai yang meliputi pertama kemampuan dalam menganalisis pilihan politiknya, kedua memahami secara sadar akan hak-hak politiknya, ketiga mampu mengembangkan nilai-nilai demokrasi, keempat ikut terlibat dalam diskursus politik. Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja penyelenggara dan pengawasan pemilihan umum sudah maksimal mengawal prosesi politik lima tahun sekali dan penting sebagai catatan demokrasi kita. Akan tetapi dukungan dan partisipasi warga jauh lebih penting, karena menjadi faktor penentu arah demokrasi kedepan. Berkontribusi penuh pada transformasi demokrasi yang menyeluruh, setiap perubahan tatanan menyimpang semangat progresifitas dan hasil yang berkemajuan. Dengan kemampuan literasi politik dimiliki setiap warga, dapat membangun kultur dan diskursus politik yang sehat agar terciptanya sistem politik yang bermartabat. Sekian       Ket : Tulisan ini, pernah terbit, 16 Agustus 2022 Kolom Radar Opini Hal. 4 Koran Radar Bone

Menakar Kualitas Demokrasi Pada Pemilu Serentak

“Menakar Kualitas Demokrasi Pada Pemilu Serentak” Oleh Nuryadi Kadir Kadiv. Perencanaan Data dan Informasi KPU Kab.Bone  Akademisi dan Peneliti La Tea Riduni Institute   Tulisan ini, merupakan refleksi perjalanan demokratisasi terhadap sistem, prosedur dan kelembagaan penyelenggaraan pesta demokrasi di Indonesia. Penyelenggaraan Pemilu 2024 telah melalui beberapa tahapan dan berkaca pada Pemilu lalu, ada sejumlah perkara politik yang harus diatasi. Pemilu sebelumnya masih menyisakan masalah selama penyelenggaraan seperti pada Pemilu tahun 2019. Pemilu pada tahun itu, menjadi babak baru bagi situasi perpolitikan di Indonesia, pasalnya pertama kali dalam sejarah penyelenggaraannya dilakukan secara serentak. Pemilu Presiden dan Pemilu Legislatif yang sebelumnya diselenggarakan terpisah, lantas disatukan secara bersamaan dengan menyodorkan lima kertas surat suara kepada pemilih. Pada dasarnya, iklim perpolitikan di Indonesia mengalami haluan besar pasca reformasi. Beberapa aspek dalam sistem Pemilu mengalami perubahan yang berdampak pada hasil Pemilu, diantaranya pertama, Parliamentary Threshold (PT) yang diutak-atik untuk memperoleh angka matematika politik yang ideal, persentase jumlah suara dalam keterwakilan di parlemen dan aturan main penyelenggaraan Pemilu, kedua pergeseran landskap sistem dan model kepartaian sebagai elemen utama demokrasi dan ketiga implementasi Pemilu tahun 2024 tanpa adanya perubahan regulasi yang berpotensi kembali terulang masalah Pemilu seperti di tahun 2019, secara spesifik menyisakan masalah seperti kompleksnya masalah manajemen Pemilu, beban kerja penyelenggara dan diskursus politik lokal vs nasional.  Parliamentary Threshold (PT). Pendulum demokrasi dari satu titik mengalami perubahan signifikan sejak penetapan Parliamentary Threshold (PT) yang terus meningkat. PT menjadi bagian dari penataan regulasi kepemiluan. Perubahannya urgen untuk ditelisik sejak PT ditetapkan kembali menjadi 4%. Pada Pemilu 2009 berdasarkan Pasal 202 UU No. 10 Tahun 2008, PT ditetapkan 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional dan hanya diterapkan pada penentuan perolehan kursi DPR dan tidak berlaku bagi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pemilu 2014 terjadi perubahan PT naik menjadi 3,5%, dan Pemilu 2019 PT meningkat lagi menjadi 4%. Hal ini menunjukkan ada tuntutan terhadap penyederhanaan kepesertaan Pemilu.  Kenaikan angka PT yang dilakukan sebanyak tiga kali pada penyelenggaraan Pemilu secara berturut-turut, dimaknai sebagai bentuk upaya untuk menyederhanakan model dan sistem kepartaian di Indonesia. Mengingat pesta demokrasi pada Pemilu 2009 dengan jumlah peserta Pemilu sebanyak 28 partai politik (parpol), menghasilkan 9 parpol pemenang Pemilu yang secara sah memperoleh kursi di parlemen. Selanjutnya, pada tahun 2014 jumlah parpol meramping menjadi 12 parpol dan secara proporsional menghasilkan 10 parpol yang memiliki kursi di parlemen.  Sedangkan Pemilu Serentak 2019 peserta Pemilu mengalami peningkatan jumlah sebanyak 16 parpol dan menghasilkan 9 parpol saja yang mendapatkan kursi di parlemen.    Dampak dari kenaikan PT menjadi 4%, dapat mengurangi jumlah partai politik (parpol) yang bisa masuk parlemen sehingga partai semakin kesulitan untuk memperoleh kursi dan mengirim wakilnya (anggota) masuk parlemen. Tingginya PT mengakibatkan disproporsional perolehan suara parpol dengan perolehan kursi parpol saat mengkonversi suara ke kursi. Konversi suara ke kursi menjadi persoalan yang pelik, karena bisa berakibat fatal pada angka perolehan kursi ketika dikonversi antara jumlah suara satu parpol (bahkan suara calon legislatif) dengan parpol lainnya. Muncul ketidakpuasan terhadap keputusan hasil Pemilu yang berkonsekwensi pada maraknya sengketa Pemilu. Dimensi lain menimbulkan apatisme dan skeptisme terhadap penyelenggaraan Pemilu, bahkan bisa berujung konflik politik. Parahnya, kenaikan PT dapat memicu pragmatisme politik yaitu potensi melakukan praktek money politic, praktek jual beli suara untuk merebut suara sebanyak-banyaknya.   Landskap Sistem Kepartaian. Paradigma parpol mengalami perubahan setiap periode rezim. Perkembangan dan kinerja parpol belum menunjukkan tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap pemilihnya. Pada rezim orde baru misalnya, corak parpolnya cenderung menjadi mesin politik yang lebih diarahkan pada kepentingan upaya dalam melanggengkan rezim kekuasaan orde baru pada waktu itu. Sedangkan pada rezim reformasi, parpol mengalami fase transisisi atas kebebasan sipil pasca rezim orde baru, meningkatnya tuntutan masyarakat yang tidak dibarengi dengan tata kelola kelembagaan yang baik dan manuver kerja parpol masih berada di bawah bayang-bayang rezim sebelumnya, warisan rezim orde baru masih menginternalisasi sistem parpol. Selain itu, oligarki senantiasa membayangi dinamika kelembagaan strategis parpol, utamanya dalam hal pengambilan keputusan yang terkesan tertutup dan ditentukan oleh segelintir elit partai. Model kaderisasi dan mekanisme internal bersifat sentralistik. Pada level struktur, pengurus parpol tingkat pusat mendeterminasi pengurus daerah yang notabene memiliki aspirasi yang berbeda-beda. Efek lain dari sistem pemilu saat ini adalah adanya politik biaya tinggi dan menguatnya politik uang. Sistem pemilu proporsional terbuka dengan model persaingan terbuka dinilai demokratis di satu sisi, namun di sisi lain juga memberikan peluang bagi kader instan untuk masuk, seperti dana besar, popularitas dan modal sosial lain yang lebih kuat. Penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia, merupakan upaya sistematis untuk mengefisienkan kompleksnya penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Dalam konteks ini, upaya yang dilakukan adalah merekayasa sistem Pemilu sejak 2004, diantaranya, beberapa dimensi menguji kembali ketentuan-ketentuan peraturan dengan melakukan deregulasi kebijakan, review substansi dan prosedural kepemiluan serta simulasi penyelenggaran. Faktanya, segala upaya yang dilakukan, justru belum menunjukkan hasil secara signifikan, meskipun uji coba rekayasa dilakukan pada lingkup dan ukuran daerah pemilihan (dapil) yang lebih kecil dengan alokasi kursi 3-12. Hal ini sangat dipengaruhi oleh ketentuan prasyarat pendirian parpol yang ketat dan cukup memberatkan bagi yang ingin mendirikan parpol. Disamping itu, instrumen Parliamentary Threshold (PT) dan jumlah parpol masih saja tergolong sebagai multipartai ekstrem dengan jumlah lebih dari 5 partai di DPR. Bahkan berdasarkan hasil Pemilu Serentak 2019 dengan beragam perubahan unsur sistem pemilu di dalamnya, jumlah partai politik masih cukup banyak, yaitu 9 partai politik. Sistem kepartaian dengan jumlah yang demikian disebut sebagai Multipartai Ultra. Refleksi Penyelenggaraan Pemilu 2019 Pemilu tahun 2019 dianggap pesta demokrasi yang brutal dan ugal-ugalan. Cukup memprihatinkan jika menatap masa depan pesta demokrasi yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Harapan menghasilkan kualitas Pemilu yang ideal, justru sistem Pemilu semakin mengalami kerumitan tersendiri. Hasil Pemilu tahun 2019 memang konstitusional, tetapi dibalik itu, proses penyelenggaraan di lapangan mengalami berbagai persoalan seperti pertama musibah yang dialami oleh penyelenggara ad hoc Pemilu (Petugas TPS). Mereka kewalahan dalam mengawal pemungutan dan perhitungan suara, faktanya ada ratusan petugas sakit dan wafat. Petugas TPS Pemilu tahun 2019 yang meninggal menjadi soal dan tantangan ke depan untuk mengantisipasi terjadinya resiko korban. Kedua kebutuhan biaya pemilu tahun 2024 terdiri dari anggaran untuk KPU senilai Rp76,6 triliun dan Bawaslu senilai Rp33,8 triliun. Perkiraan anggaran ini tercatat fantastis dibanding gelaran pemilu 2019 sebelumnya senilai Rp25,59 triliun. Ketiga pengadaan dan distribusi logistik Pemilu yang berbelit-belit. Distribusi logistik Pemilu belum memberikan solusi perbaikan secara sistematis, menyeluruh dan terintegrasi keempat  tata cara pemilihan, pemilih sulit mengenal atau mengetahui profil calon, tingkat pengenalan rekam jejak dan visi misi program calon tergolong rendah. Ketika datang ke TPS pada hari pencoblosan pemilih tidak mengenal nama-nama calon legislatif (caleg) yang tertulis dalam surat suara sehingga akibatnya pemilih asal mencoblos nama caleg atau tanda gambar parpol. Hal demikian berdampak pada metode pencoblosan, kerumitan lima kertas suara cukup dirasakan pemilih pada saat mencoblos calon dan parpol. Kelima netralitas lembaga dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Beberapa tindakan atau ucapan ASN telah terbukti sejalan dengan kandidat pemilu melalui berbagai acara dan media sosial. Gelombang kritik datang dari berbagai kalangan dalam penataan sistem penyelenggaraan Pemilu. Ditambah polarisasi politik sebagai isu sentral, khususnya pada ranah Pemilu presiden. Fakta politiknya, Pemilu tahun 2019 menyuguhkan dua kandidat pasangan calon presiden dan wakil presiden. Konstruksi politik bipolar yang dilancarkan secara sistematis oleh pihak-pihak yang ingin adanya pembelahan sosial. Pemilu 2019 menjadi titik kulminasi dari polarisasi politik. Eskalasi polarisasi meningkat akibat merebaknya politik identitas dan politisasi sara, praktis mengeliminasi isu-isu politik yang substantial (politik kesejahteraan).      Ket : Tulisan ini, pernah terbit, 7 Desember 2022 Kolom Tribun Opini Hal. 6 Koran Tribun Bone