Opini

Menjaga Kedaulatan Pemilih, Merawat Kualitas Demokrasi

Menjaga Kedaulatan Pemilih,  Merawat Kualitas Demokrasi

Oleh

Nuryadi Kadir (Kadiv. Perencanaan, Data dan Informasi KPU Kab. Bone,

Akademisi dan Peneliti La Tea Riduni Institute)

 

 

Pemilu dan Pemilukada tahun 2024 telah dilalui dengan sukacita. Jika diperhatikan, ada kebutuhan mendesak untuk menata demokrasi prosedural yang lebih substansif. Pemilu dalam dua dekade ini menjadi atensi publik, meskipun memberikan respon yang relatif beragam. Tetapi, tetap patut diapresiasi, karena beberapa bagian penataan penyelenggaraan pemilu sudah mendapatkan respon yang positif. Secara umum misalnya, terdapat transformasi pada tataran kelembagaan yang lebih mandiri, profesional dan akuntabel, sedangkan secara spesifik, terdapat inovasi penyelenggaraan teknis pemilu yang mengadaptasikan digitalisasi informasi dalam dukungan manajemen dari hulu hilir demi mengefektifkan penyelenggaraan dan pengawasan pemilu.

Mungkin sebagian besar publik belum menyadari bahwa pasca reformasi, tata kelola pemilu mengalami dinamika politik yang cukup konstruktif. Utak atik regulasi penyelenggaraan pemilu berlangsung dialektis, meski tetap dipandang sebagai pembenahan sistem yang lebih baik. Tanpa berusaha untuk tidak menepis bahwa masih terdapat upaya untuk mendegradasi semangat pemilu yang langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil. Namun demikian, kesan yang terlihat, regulasi pemilu selama ini masih terlampau prosedural, belum nampak geliat aktif pemilih secara substansial.

Selama ini pula, diskursus regulasi pemilu hanya melewati bagian dari fenomena politik kekuasaan, yakni, berbicara soal aturan arena peserta pemilu seperti bagaimana landskap kepartaian, membahas sistem multipartai sampai pada penyederhanaan sistem kepartaian. Selanjutnya, berbicara pembagian kursi kekuasaan dan persentasenya, seperti bagaimana problematika Parliamentary Threshold (PT) selama ini, termasuk upaya efektivitas agenda demokrasi dalam keserantakan Pemilu dan Pemilukada yang separuhnya, dipandang sebagai kepentingan dan kewenangan berkuasa. Tanpa ada kesempatan yang sama untuk mendorong bagaimana idealnya kedaulatan pemilih dalam ruang kontestasi demokrasi, meskipun disadari betul bahwa angka partisipasi nasional berada dikisaran 82% pada Pemilu tahun 2024.

Menyoroti pemilu dengan segala dinamika yang terjadi selama ini, pada posisinya, situasi yang diharapkan sekarang ini ialah bagaimana supremasi terhadap pemilih yang notabene pemegang kuasa kedaulatan pemilu. Bagaimana menempatkan pemilih sebagai inti dari segala dimensi kepemiluan dan  mendudukkan pemilih sebagai salah kutub utama dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Perannya tidak hanya pada prasyarat pelengkap adminitrasi dan dipahami sebatas pemberi suara pada konteks elektoral, tetapi penting dalam menjamin kebebasan dan kedaulatan pemilu.

Kontruksi pemilih memang diawali dari proses normatif yaitu seseorang mendapatkan hak pilih atau menjadi eligible voter apabila yang bersangkutan telah berusia 17 tahun dan atau sudah/pernah menikah yang tertuang dalam aturan UU No 7 Tentang Pemilu Tahun 2017 Pasal 198 ayat (1) berbunyi “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”. Tidak hanya berhenti pada syarat dasar pemilih, secara praktis didaftarkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT), sedangkan bagi yang tidak terdaftar pada DPT dapat menggunakan hak pilihnya dengan ketentuan membawa Kartu Tanda Penduduk (KTP) di Tempat Pemungutan Suara (TPS), selebihnya menunggu hari pemungutan suara.

Pada konteks ini, mekanisme penggunaan hak pilih tidak boleh berhenti pada bilik suara, tidak hanya diletakkan pada soal terdaftar sebagai pemilih dan hadir pada pemungutan suara, tetapi memiliki kewajiban dan hak mutlak setiap tahapan pemilu.  Kedaulatan pemilih harus dimaknai sebagai instrumen dalam mewujudkan kehendak rakyat secara umum. Dapat diartikan dengan memberikan seluas-luasnya akses terhadap segala proses. Maka sudah sepatutnya, pemilih memiliki kebebasan tak terbatas dalam mengakses mekanisme dan tahapan penyelenggaraan pemilu.

Momentum pemilu baik pre-election, election dan post-election seharusnya akrab dengan aktivitas warga negara. Terlibat aktif dalam diskursus publik atau pergulatan wacana antar pemilih, peserta dan penyelenggara pemilu setiap tahapan. Wacana kepublikan, kebangsaan atau problem dasar keummatan menjadi menu utama atau tema pokok pada setiap percakapan politik. Pemilu sebagai sarana kedaulatan pemilih, menjadi arena inklusif yang memungkinkan terciptanya ide dan pertautan gagasan yang konstruktif, dengan mengandaikan adanya partisipasi pemilih dan peserta yang setara, bahwa setiap warga negara menyadari betul dirinya sebagai aktor atau agen yang dapat menentukan kualitas sistem demokrasi.

Tanpa menutup mata, bahwa sesungguhya masih terdapat residu pada ranah pemilih yang selama ini masih luput dari pantauan dan berpotensi mengancam masa depan demokrasi, diantaranya, pertama, capaian pemilu selama ini belum cukup mengaktifkan publik secara menyeluruh dalam setiap episode tahapan pemilu, kedua sulitnya menerapkan prinsip dasar nilai demokrasi secara total dalam pemilu yakni pengakuan terhadap hak sipil, kedaulatan dan kebebasan politik, ketiga semakin rendahnya animo publik menyikapi diskursus politik dan dialektika civil society dan kebangsaan, justru terjebak pusaran elektoralisme dan selebihnya menjadi kelompok “silent majority” selanjutnya keempat narasi polarisasi politik (kubu-kubuan), praktek politik klientilisme dan populisme yang masih mendominasi, tanpa menafikkan gejala lainnya seperti politik identitas dan money politic, selanjutnya, kelima disrupsi teknologi informasi menyumbang ruang gema “echo chamber” dan menciptakan bias kognitif atau bias konfirmasi pada keputusan dan pilihan politik.

Kondisi demikian memang menjadi tantangan tersendiri bagi iklim demokrasi sekarang ini, dimana era keterbukaan dan arus informasi yang mendeterminasi segala kehidupan demokrasi. Keterbukaan informasi yang diharapkan memacu kesadaran moral, mendorong partisipasi dan meningkatkan daya literasi publik. Namun semakin melubernya informasi ke berbagai ranah, justru memicu “echo chamber” (ruang gema). Mulanya, internet sebagai medium informasi dan sumber literasi yang mengedukasi, bahkan sebaliknya menjadi medium penyesatan informasi, perang narasi dan penyebaran hoaks.

Dalam konteks pemilu misalnya, fenomena politik di platform media sosial yang kebanyakan menyuguhkan perkara kepribadian kandidat tanpa dibarengi visi dan misi, sikap dan formasi koalisi, aksi dan reaksi pendukung kandidat serta kampanye dengan narasi kalah menang, adu siasat janji dan pencitraan politik tanpa tuntutan secara moral yang kesemuanya tidak memberikan efek edukasi dalam pemilu. Selanjutnya, maraknya reproduksi isu dan wacana politik oleh kelompok tertentu hanya untuk tujuan politik tertentu sehingga mudah dipelintir dan diframing dalam memainkan sentimen pemilih. Kondisi ini makin diperparah dengan pemaknaan sebagian orang terhadap era digitalisasi informasi yang dimana ketakjuban orang bukan lagi soal esensi tapi eksistensi, pengkultusan kandidat lebih mengagungkan pesona yang bersifat artifisial ketimbang sesuatu yang lebih natural. Pendek kata, lebih mengedepankan sensasi daripada subtansi.

Era disrupsi informasi juga ikut menstimulus praktek kecurangan pemilu (electoral fraud) melalui serangan cyber yang berusaha memanipulasi dan meretas perangkat lunak penyelenggaraan pemilu, bahkan ada upaya mempengaruhi hasil pemilu. Fenomena post truth turut mengharubirukan jagat media sosial. Suguhan disinformasi pada waktu penyelenggaraan pemilu seperti diksi “kebocoran data” diproduksi dan diamplifikasi ke khalayak menjadi senjata mengobok-obok tahapan dan proses pemilu. Produk sains seperti kecerdasan buatan (artificial intelligent : AI) yang notabene membantu kerja manusia, sebaliknya mengancam proses pemilu dimana peran algoritma politik yang mensimulasikan persepsi seseorang untuk menghasilkan sikap politik. Disrupsi ini cukup memberikan ancaman terhadap kedaulatan pemilih dan masa depan demokrasi.

Pada simpulannya, pemilu ke depan harus dibarengi semangat literasi yang mumpuni. Konsisten memahami secara mendalam dan komprehensif arti pentingnya pemilu sebagai sarana kedaulatan pemilih, yakni, pertama bagaimana kemampuan seseorang secara sadar memahami hak politiknya secara fundamental, kedua  kemampuan seseorang dalam mengembangkan nilai-nilai demokrasi ke berbagai ranah, ketiga kemampuan untuk terlibat dalam setiap diskursus publik dan keempat kemampuan dalam menganalisa dan mengambil keputusan pada pilihan politik sesuai dengan konteksnya. Pendekatan demokrasi deliberatif dalam mendorong wacana kepublikan dan kebangsaan dalam setiap momentum, membuka ruang-ruang musyawarah dengan melibatkan seluruh warga. Refresentasi sebagai kunci demokrasi benar-benar terakomodir dalam ruang kebijakan dan keputusan politik. Pada akhirnya, penyelenggaraan pemilu harus seutuhnya menjadi pesta demokrasi semua lapisan sebagai kedaulatan pemilih dan merawat demokrasi harus didukung dengan pencerahan literasi yang berdampak pada keputusan dan pilihan politik lebih substansial. Sekian

 

Ket :

Pernah dipublikasikan di https://bone.bawaslu.go.id/publikasi/sudut-literasi/demokrasi-pasca-pemilu

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 103 kali