
Meneguhkan Demokrasi Substansial Pada Pusaran Elektoralisme
“Meneguhkan Demokrasi Substansial Pada Pusaran Elektoralisme”
Oleh
Nuryadi Kadir
Kadiv. Perencanaan Data dan Informasi KPU Kab.Bone
Akademisi dan Peneliti La Tea Riduni Institute
Pesta demokrasi sayup-sayup terdengar di ruang publik, seakan-akan hajatan politik tidak lama lagi diselenggarakan. Beberapa tahapan skenario pemilihan umum pun telah dijalankan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). Kita akan kembali dipertontonkan rutinitas perhelatan politik lima tahun sekali yang acapkali menyisakan masalah. Tentu mengurai masalahnya satu persatu tidak akan tuntas. Akan tetapi dalam konteks ini sedikit merefleksi dinamika politik sebagai jalan yang panjang untuk mencapai demokratisasi. Tidak berlebihan mungkin menyebut demokratisasi, karena selama ini masih mengalami transisi demokrasi. Konteks kekinian misalnya yang cukup penting untuk dijadikan sebuah refleksi adalah betapa demokrasi elektoral dengan gejala kontestasi, manuver tim sukses, drama dan intrik politik serta mahalnya pembiayaan politik mengalahkan substansi berdemokrasi. Serasa alam demokrasi kita disempitkan oleh agenda politik yang instrumental dan bersifat elitis, seolah-olah tujuan dari segalanya adalah kekuasaan semata.
Penting menghadirkan demokrasi substansial di tengah demokrasi prosedural. Demokrasi substansial yakni menjalankan prinsip nilai demokrasi sepenuhnya, seperti pengakuan terhadap hak sipil, jaminan kedaulatan rakyat, kebebasan individu, berkeadilan dan mengusahakan kesejahteraan sebagai pelaksanaan demokrasi. Maka dari itu, sistem demokrasi di Indonesia harus benar-benar menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan secara penuh, sehingga pelibatannya dalam diskursus politik menjadi faktor determinan pada setiap hajatan demokrasi seperti Pemilu dan Pilkada.
Meneropong demokratisasi di tingkat lokal yang cenderung disuguhi segala macam praktik depolitisasi di ruang publik, menimbulkan perilaku apatis masyarakat terhadap iklim perpolitikan saat ini. Kemandekan berdemokrasi memicu terciptanya silent majority atau masyarakat semakin jenuh dengan praktik politik. Pengetatan wacana demokratisasi dari kepentingan politik kebangsaan diarahkan ke politik praktis. Demikian pula halnya, jebakan elektoralisme yang prosedural di bawah bayang-bayang rezim politik berkuasa. Sesungguhnya, menyikapi persoalan tersebut harus ada sikap yang tegas untuk mengembalikan nilai-nilai demokrasi, dengan mengedepankan politik emansipatif. Bahwa seluruh warga masyarakat sadar memperjuangkan kepentingan publik dalam arena politik.
Mengaktifkan Wacana Kepublikan di Arena Politik
Seyogyanya ruang publik harus menjadi ruang bagi semua kalangan, menjadi zona yang nyaman bagi setiap orang untuk bertemu dan mengutarakan kegelisahan sekaitan fenomena kepublikan dari berbagai sudut pandang. Menghadapi hajatan politik seperti ini, ruang publik diharapkan steril dari percakapan yang bersifat destruktif, sehingga warga memiliki kebebasan mengorganisir opini dan mampu melawan hegemoni wacana dominan yang direproduksi oleh kelompok tertentu untuk mencapai tujuan politik secara instan. Percakapan politik itu seharusnya akrab dengan wacana kepublikan agar menjadi representasi dan medium komunikasi politik.
Ruang publik sebagai arena inklusif memungkinkan terciptanya ekspresi dan ekspektasi publik terhadap situasi terkini dan masa akan datang. Hadirnya partisipasi yang egaliter, tatkala setiap warga negara menyadari betul dirinya sebagai aktor yang menentukan proses politik ke depan. Bukan menjadi bagian dari skenario kekuasaan politik atau dijadikan sebagai komoditas politik. Sederhananya, diskursus antar warga diawali dengan membicarakan hal yang menyentuh langsung dengan dirinya atau merumuskan persoalan yang paling elementer sekaitan dengan pemenuhan hak dasar, jaminan layanan publik, kebebasan dan perlindungan sosial, pembangunan daerah, sampai pada problematika yang dihadapi secara riil dan aktual di setiap daerah, tak terkecuali merefleksikan situasi politik,
Pada dimensi politik, masyarakat memiliki kekuatan narasi dalam mewarnai referensi dan preferensi politik dalam rangka memajukan daerah, memiliki kebebasan mengajukan semacam reasoning dalam pembangunan daerah. Menguji sekaligus membaca keberpihakan aktor politik (kandidat) terhadap transformasi kemajuan daerah, termasuk menakar visi dan misi serta janji politik setiap kandidat nantinya. Tidak hanya terbawa oleh arus politik yang berkenaan dengan elektoralisme, diantaranya menjadikan kontestasi politik sebagai ajang tarung menjagokan kandidat, terhanyut pada drama politik yang penuh intrik dan akhirnya larut dalam pilihan antara menang dan kalah. Kesadaran publik dan pembicaraan politik mesti dikembalikan pada ranah publik. Harus ada pemodelan dalam menata diskursus politik di ruang publik, sehingga kemasan politik tidak terkesan esklusif yang hanya diperbincang oleh sekelompok kekuasaan tertentu dan selebihnya memobilisasi kapital dan massa.
Mengimbangi Jebakan Elektoralisme
Framing elektoralisme menggejala dan menjangkiti cara berpikir setiap orang. Sebagian berpandangan bahwa demokrasi hanya berurusan dengan pemilihan umum. Ibaratnya, jalan satu-satunya pelaksanaan demokrasi yang ada adalah demokrasi elektoral. Padahal elektoralisme kerap dimaknai secara minimalis sebagai sarana alat kontestasi, berbicara pertarungan antara menang dan kalah. Hasilnya sangat berdampak pada wajah demokrasi keseharian kita yang menimbulkan kekecewaan yang luar biasa, dimana suatu perencanaan, penyusunan dan pengambilan keputusan kebijakan tidak berlangsung demokratis. Kontribusi dan partisipasi warga hanya dipandang sebelah mata di alam demokrasi ini.
Narasi politik yang minim gagasan hanya menjadikan pertunjukan politik miskin substansi, justru menimbulkan kegaduhan di mana-mana. Diskursus politik pun terdistorsi oleh dominasi urusan elektoral yang identik menang-kalah, dengan segala fenomenanya seperti politik uang, banalitas politik dan politik bipolar, yang menyandera praktik demokrasi elektoral selama ini. Soliditas dan kohesi sosial semakin renggang. Tatanan nilai kerakyatan terdegradasi akibat pengaruh mental politik transaksional.
Dilain sisi, perancang pemenangan kandidat yang biasa disebut tim sukses atau pendukung kandidat banyak berperan dalam melakukan manuver politik di setiap kontestasi pemilihan. Berbagai cara, daya dan upaya politis untuk memenangkan kandidatnya, meskipun dibaliknya terkadang harus mengambil resiko dengan memainkan intrik-intrik kecurangan. Tidak sedikit dari mereka memainkan isu politik identitas dan populisme yang sesat dan tidak segan-segan pula melakukan kampanye hitam. Termasuk menebar berita hoaks, klaim kebenaran dan pemelintiran fakta yang menurunkan kualitas demokrasi. Sejatinya, pertarungan politik harus diisi dengan pertarungan gagasan yang dialektis yang didasarkan pada kepentingan publik untuk kemajuan daerah. Sudah harus ada masa di mana politik gagasan sebagai pilar utama dalam kontestasi.
Perlunya Literasi Politik
Literasi politik untuk masyarakat merupakan keniscayaan, menjadi tanggung jawab setiap warga negara dalam memahami politik. Model literasi politik tidak hanya sekedar paham akan persoalan tahapan dan mekanisme pemilihan saja. Namun di satu sisi masyarakat harus betul-betul menyadari dampak apa yang akan diperoleh saat menjatuhkan pilihan, di sisi lain masyarakat secara berdaulat untuk dapat mengajukan dan menentukan preferensi politiknya. Pada tataran ideal, memahami secara komprehensif dinamika politik secara faktual.
Landskap penyelenggaraan Pemilu 2024 masih dalam mekanisme peraturan perundang-undangan yang sama dengan Pemilu 2019 (rujukan UU No.7 Tahun 2017), sehingga potensi kecurangan sangat memungkinkan berulang. Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh hanya memahami setiap prosesi penyelenggaraan, tetapi mengenal dan mampu mengidentifikasi potensi kecurangan yang terjadi. Tidak cukup disitu saja, literasi politik harus menjadi pedoman nilai yang meliputi pertama kemampuan dalam menganalisis pilihan politiknya, kedua memahami secara sadar akan hak-hak politiknya, ketiga mampu mengembangkan nilai-nilai demokrasi, keempat ikut terlibat dalam diskursus politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kinerja penyelenggara dan pengawasan pemilihan umum sudah maksimal mengawal prosesi politik lima tahun sekali dan penting sebagai catatan demokrasi kita. Akan tetapi dukungan dan partisipasi warga jauh lebih penting, karena menjadi faktor penentu arah demokrasi kedepan. Berkontribusi penuh pada transformasi demokrasi yang menyeluruh, setiap perubahan tatanan menyimpang semangat progresifitas dan hasil yang berkemajuan. Dengan kemampuan literasi politik dimiliki setiap warga, dapat membangun kultur dan diskursus politik yang sehat agar terciptanya sistem politik yang bermartabat. Sekian
Ket :
Tulisan ini, pernah terbit, 16 Agustus 2022 Kolom Radar Opini Hal. 4 Koran Radar Bone